Aku mendengarkan salah satu lagu Taylor Swift saat waktu luang kelas komputerku. Perempuan itu berada tepat di belakangku, menyenandungkan nada-nada dari bait-bait lirik yang aku suka. Suara lembut dan manis madu keluar dari bibirnya. Saat itu, aku menahan senyuman, menggigit lidah bagian dalam untuk mencegah diriku tampak seperti orang bodoh yang tersenyum sendiri. Namun, akhirnya aku mencoba melirik sorot mata yang fokus pada kesibukannya.
“Kamu suka Taylor Swift?”
“Iya… Blank Space is one of my favourite. You have good taste of music tho”
Beberapa orang memuji tulisanku, sisanya memuji isi kepala atau cara berpikirku. Tetapi sangat jarang ada orang yang memuji atau bahkan punya selera musik yang sama denganku saat itu. Ia adalah perempuan pertama, dan barangkali itu adalah awal mulanya. Kupikir, aku telah jatuh cinta.
Dalam waktu sekejap, perempuan itu sekonyong-konyongnya menjadi pusat semestaku.
Aku tak ingat bagaimana prosesnya, tetapi, kemudian, seingatku, kami dekat dengan kedekatan yang tanpa nama. Ia terkadang menyanyikan lagu-lagu, seakan menyebut namaku dengan kelembutan diantara karakter-karakter pangeran dalam nada, dan hal apapun yang membuatku yakin dia juga mencintaiku sama besarnya.
Aku berusia 17 tahun saat perempuan itu datang lagi dan menyatakan, “Aku sudah tidak lagi cinta padamu. Aku hanya cinta kepada caramu mencintaiku,” sebelum membuangku ke tempatku yang sekarang. Nada suaranya masih terasa semanis madu, tetapi kalimatnya mengandung kepahitan.
Aku bisa saja meraung, menghamba, merasakan sakit hati saat ia melakukan itu, tetapi yang aku rasakan saat itu hanya seperti ditampar oleh sebuah kesadaran. Walaupun dengan kepahitan yang baru saja keluar dari mulutnya. Aku tetap jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta kepada sosok yang mengapresiasi apapun yang kupunya, yang menyanyikanku lagu-lagu cinta, yang selalu mengingatkanku dan memvalidasi bahwa aku berharga. Namun, ketika aku menemukan bahwa menurutnya aku bukanlah sosok yang memenuhi kriteria “ideal” yang ia punya. Aku mencoba berhenti mencintainya. Beberapa tahun berlalu,dan aku terus bersamai dia hanya karena aku menghormatinya sebab ia telah dengan sudi mencintaiku selama beberapa tahun terakhir usia remajaku.
Dia menjalin kedekatan dengan banyak laki-laki setelah itu. Aku rasa ia jatuh cinta pada konsep ideal yang ia ciptakan sendiri dalam kepalanya. Sedangkan aku mengais, mengorek-orek pada setiap orang yang kutemui, berharap orang-orang itulah yang menjadi sosok yang akan aku cintai. Namun, seperti yang bisa ditebak, aku tidak pernah bisa menemukannya. Dari setiap isi kepala, dari semua batang tubuh yang masih bernyawa… Aku selalu mencari sisi yang sama darinya. Aku rasa, aku tidak pernah benar-benar berhenti mencintainya. Maksudku, bagaimana mungkin kita bisa berhenti mencintai seseorang? Kita tidak akan pernah bisa. Karena itulah yang dinamakan “Cinta”
Rasanya bagaimana? Sial. Aku tak bisa mendeskripsikannya. Perasaan ini seperti warna abu-abu yang tak bisa kemana-mana. Aku tak bersedih, aku juga tak bahagia atasnya.
Meskipun, jauh di dalam, aku ingin sekali merasakan erat peluk tangannya sekali lagi. Aku ingin mencintai sosoknya dengan bodoh; merasakan derap langkah kuda menggempuri dada, menghayati kepakan kupu-kupu yang memenuhi perut, dan tersipu malu saat mendengarkan namanya disebut. Kemudian aku akan membuat puisi atas dirinya, menyanyikan lagu-lagu konyol tentang cinta. Tak luput untuk saling membagi keluh-kesah, mengetahui dirinya, permasalahannya, dan semua rasa sakit yang pernah ia derita.
Aku ingin melihat ke matanya dan kemudian merasakan perasaan melayang. Untuk merasakan rumah saat bersamanya; untuk hidup, untuk menghidupi.
Ah, sialan, kenapa hanya dengan membayangkannya saja aku merasa sumringah.
Mungkin, jatuh cinta memang suatu hal yang indah.