Aku ngerasa sepi, mending nikah. Aku capek kerja, mending nikah. Aku capek kuliah, mending nikah. Aku malu jadi beban orang tua, mending nikah. Memang semua masalah solusinya “nikah”? Nanti kalau di tengah-tengah pernikahan ternyata ada masalah juga, apa iya solusinya nikah lagi? Entah maksudnya sebagai candaan atau keseriusan, aku benci mendengar jika seolah-olah nikah menjadi sebatas pelarian karena takut menghadapi masalah dan tanggung jawab yang nyata ada di depan mata.
Beberapa waktu lalu aku sempat berbincang-bincang ngalor-ngidul di tongkrongan, hingga sampai pada bahasan terkait hal ini. Aku sempat bilang bahwa aku sebenarnya takut(baca: khawatir) buat menikah, pernyataanku itu langsung disambut oleh gelak-tawa teman-temanku. Aku mengherankan katanya. Sebenarnya, justru aku lebih heran dengan orang yang menganggap enteng dan biasa saja perihal pernikahan. Buat kalian yang masih menganggap remeh pernikahan, tolong berkaca pada dunia nyata. Jangan cuma mengacu pada film, novel, dan drama. Aku yakin kita semua setuju bahwa setiap anak berkaca pada orangtuanya perihal pernikahan. Maka wajar jika kekhawatiran seperti itu muncul pada seorang anak yang tidak lahir di keluarga harmonis atau ideal.
Kekhawatiran itu muncul seiring berjalannnya waktu ketika kedua orang tua cekcok dan bertengkar dalam suatu permasalahan. Mungkin hal seperti itu lumrah dalam pernikahan, tapi jika intensitasnya sering bukan hal yang dapat dimaklumi lagi, bukan?
1. Takut mengulangi kesalahan yang sama seperti orang tua atau keluarga perbuat.
Takut banget. Aku takut bertengkar dan berujung perpisahan dengan pasangan nanti. Karena jika suatu saat terjadi hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangga, aku tidak bisa menyalahkan pasangan secara sepihak. Tidak adil. Karena sadar atau tidak, aku juga ikut menyumbang salah. Entah dari nada bicara atau perbuatan. Apalagi aku tidak punya gambaran menjadi suami-istri yang harmonis dan ideal itu seperti apa? Di dunia nyata belum pernah aku temui kisah semulus cerita film dan drama.
2. Takut selingkuh atau diselingkuhi
Mending mana sih, selingkuh atau diselingkuhi? Bagiku keduanya sama. Sama-sama menyakitkan. Entah kalian setuju atau enggak, menurutku pernikahan suatu waktu akan menemukan titik jenuh atau bosan. Bangun tidur melihat wajah yang sama kan bosan, mau secakep apapun dia. Bosan melihat tingkah dia yang menjengkelkan. Bosan bergulat dengan orang yang sama di ranjang. Bosan pada pasangan itu salah satu pemicu perselingkuhan. Ingin mencoba hal atau sensasi yang baru. Contohnya yang lagi rame sekarang ini, fenomena Sugar Daddy. Dengan ngasih uang. Sugar baby-nya akan melakukan apapun yang dia minta, hal yang terkadang tidak bisa dia lakukan dengan pasangan sahnya. Dengan menjalin hubungan dengan yang lebih muda, membuatnya merasa muda kembali.
3. Pengorbanan yang begitu besar
Contoh sederhananya aja karier. Bersama dengan orang yang ambisius misalnya yang sudah membuat grand concept dari hidupnya sendiri. Misal, setelah lulus S1, lanjut S2. Setelah itu tinggal di luar negeri dengan tujuan negara Irlandia dengan alasan-alasan tertentu yang tidak bisa diceritakan. Semisal grand concept itu gagal, pasti punya concept cadangan. Atau singkatnya aku udah memikirkan apa yang akan aku lakukan untuk masa depanku sendiri. Siap atau tidak, nanti untuk merealisasikan mimpi-mimpi itu pasti menemui kesulitan karena hadirnya pasangan di kehidupanku. Tidak mungkin juga kan aku tinggalin dia, wong aku sayang banget sama dia. Dia juga adalah salah satu orang yang berjasa membuat kehidupanku jadi jauh lebih baik. Kalau aku sampai serius sama dia, aku jadi bingung untuk memantapkan diri tinggal di negara lain.
Yang sudah menikah, pasti pernah dong mengalami kegalauan-kegalauan yang serupa? Mau melanjutkan jenjang pendidikan. Namun, tidak bisa meninggalkan pasangan atau keluarga. Dulu ibuku pun waktu ditawari promosi jabatan mikir-mikir dulu, apakah nanti bisa bikin quality time bersama keluarga berkurang? Mau tidak mau penikahan membuat setiap orang harus merelakan kepentingan pribadi demi kepentingan keluarga.
4. Kondisi ekonomi tak menentu
Tahu nggak sih? Kalau faktor ekonomi menempati peringkat kedua penyebab perceraian tertinggi di dunia. Bullshit kalau ada yang bilang menikah bakal memperlancar rejeki tanpa didukung oleh faktor-faktor lain. Kalau menikah membuat ekonomi kita terjamin, kenapa fakta dilapangan bilang kalau faktor ekonomi menduduki peringkat pertama penyebab perceraian di Indonesia? Ga percaya? Googling aja sana… Aku dulu pernah waktu lagi gabut menghitung-hitung harga perabot di rumah orangtua aku. Aku mulai dari tempatku rebahan dulu, springbed sama dipan. Ketulan di rumah ada dua springbed lengkap dengan dipannya. Aku tanya sama Ibu aku, dua-duanya harganya berapa. Aku pikir murah, sekitar 1-2 jutaan lah. Pas disebut nominal harga masing-masing dengan total diatas 10juta, aku jelas kaget. Di dalam hati aku bergumam, ada ya tempat tidur doang harga segini? Aku jadi mikir, pas nikah nanti bisa gak ya aku punya tempat tidur harga segitu. Apakah keadaan ekonomi aku dan pasangan setelah menikah bakalan lancar? Ah, aku jadi khawatir. Mendengar keluh kesah temen-temen akibat harga bahan pokok seperti minyak sama BBM yang semakin naik aja sukses menambah gundah gulana. Bukan cuma tempat tidur. Aku juga harus menabung buat beli rumah, kendaraan, perabotan rumah tangga seperti TV, Mesin Cuci, Kulkas, Playstation keluaran terbaru, dll. Numpang tinggal di rumah mertua atau orangtua sendiri? Hmmm… I don’t think so… Itu baru perabotan hidup, belum lagi pengeluaran sehari-hari, belum lagi tanggungan anak. Sebagai penganut non-sandwich generation aku pasti ingin memberi yang terbaik untuk anakku kelak, pendidikan terbaik dengan kualitas atas, fasilitas untuk mengolah minat bakatnya (les musik, sekolah olahraga, bimbel bagus, dll)
Kondisi keuangan tidak akan selalu muluskan, ya? Orang tuaku aktif dalam koperasi, tak jarang mereka bercerita bahwa banyak keluarga yang bingung mencari tempat berhutang
dikarenakan hutang mereka udah numpuk dimana-mana. Hutang mereka pun untuk kebutuhan pokok, I mean kebutuhan primer saja belum terpenuhi apalagi kebutuhan pendukung yang lain? Takut banget gak sih suatu saat nanti kita bisa bertengkar dengan pasangan karena hanya dipicu permasalahan uang. Banyak juga pasangan yang aku tahu sering bertengkar karena masalah uang dan hutang. And I’m sick of it.
Itu beberapa hal-hal yang buat aku berpikir dua kali untuk bilang “mending nikah” waktu merasa capek dalam kesibukan. Buat temen-temen yang ngebet banget cari pasangan, aku ada closing statement bagus nih! Stay positive and have a nice day for ya!

Leave a Reply