talk with ya

Pure Experience. Pure Written.


Dua isi kepala

Tadi pagi dua manusia bangun dengan kekalutan pada masing-masing kepala. Terbangun dari batin yang lelah membantah, membela diri, dan menunjuk siapa yang salah. Terdengar suara yang sepertinya cuma melayang sia-sia, ternyata menghunjam sempurna pada masing-masing telinga. Semalaman mereka mencari jalan keluar yang hampir tidak ada.

Masalah kecil membola menjadi pertengkaran besar. Bergerak dari satu masalah, hingga menjalar ke mana-mana. Emosi-emosi berkumpul di titik penting dari hubungan mereka: Kepala, badan, dan kaki. Mereka seperti seonggok daging yang rusak. 

Keduanya meruncingkan tombak, saling beradu menyalahkan siapa yang paling banyak kurangnya. Saling membuat luka baru padahal luka lama rasanya masih sama.

“Sefrekuensi itu cuma terjadi kalau salah satu mengalah dan memilih jalan pintas untuk sepakat. Kita kan nggak. Nyadar, gak, sih? Kita gak cocok!” Ucap salah satunya

Entah apakah perdebatan itu akan semakin panjang jika diteruskan, atau karena mereka sedang menyiapkan hal yang lebih besar.

Keduanya sama-sama berawal dari akhir yang tidak layak kenang. Mungkin hal-hal buruk di masa lalu mereka jadikan bahan bakar untuk merasa harus jadi lebih baik di hubungan yang baru. Keduanya ingin mengatur lebih banyak, agar keliru-keliru di masa lalu tidak mereka hadapi lagi nanti.

Namun yang terjadi adalah, justru mereka bertemu masalah baru, dengan perdebatan yang sebenarnya sama saja motifnya: Sama-sama membakar ego. Tidak ada yang menjadi air.

Menjadi api yang tidak ada matinya.

Janji tentang punya wadah besar untuk kekurangan pasangan hanya disebutkan di awal, tidak ada yang ditepati. Bahkan dikhianati sesekali.

Mereka dibuai dengan porsi kelebihan masing-masing diri. Membuat pasangannya tidak punya nilai.

Menyandingkan emosi dengan bicara akan selalu jadi pilihan yang tidak bijaksana. Yang terluka pada akhirnya bukan cuma pasangannya, hatinya sendiri juga mungkin tidak akan cukup kuat diserang sesal setelahnya. Menjalani sebuah hubungan bukan berarti menarik tubuh seseorang untuk hidup sesuai keinginan diri. Tidak pernah ada manusia yang lahir tanpa ego. 

Semua hati itu ada retaknya. Bersanding, berarti bersedia menjaga. Kalaupun tidak jadi bentuk yang utuh, jangan biarkan hal yang sudah ia bangun jadi runtuh.

Pertengkaran itu semu. Yang sebenarnya terjadi adalah ego yang lepas batasnya.

Sedangkan sabar itu nyata. Yang menjadikannya nyata, adalah rasa tenang setelahnya.

Lalu, menuju kearah mana kita?



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *